Banyuwangi – Dalam dunia industri yang kerap kali penuh dengan konflik kepentingan, Septian Pamungkas, Senior Supervisor Industrial Relationship di PT Bumi Suksesindo (BSI), telah berhasil memainkan peran penting sebagai jembatan harmoni antara perusahaan dan pekerja. Sejak 1 Juli 2022, pria kelahiran Porolinggo, Banyuwangi, ini berdiri di antara dua kutub yang seringkali bertentangan: kebutuhan profit perusahaan dan kesejahteraan pekerja.
Bukan tugas mudah bagi Septian menjadi seorang Senior Supervisor Industrial Relationship. “Perusahaan didirikan tentu ingin mendapatkan profit sebesar-besarnya. Di sisi lain pekerja ingin mendapatkan kesejahteraan yang layak,” kata pria kelahiran Porolinggo, Banyuwangi, pada 1989 silam ini.
Septian mengkomunikasikan kebijakan-kebijakan perusahaan kepada karyawan melalui perwakilan serikat pekerja. Dia juga mengontrol perilaku karyawan, sekaligus melakukan pendisiplinan saat ada penyimpangan dari ketentuan. “Saya juga menerima laporan-laporan ketika ada karyawan yang merasa diperlakukan diskriminatif oleh jajaran pimpinan perusahaan,” katanya.
Baca Juga : Peduli Kesejahteraan Karyawan, PT BSI Meningkatkan Kesehatan dan Keselamatan Pekerja
Dengan posisinya yang krusial ini, Septian yang berlatar belakang advokat ini memilih untuk setia pada mazhab normatif. Dia akan berdiri tegak di atas ketentuan regulasi normatif. “Sepanjang itu sesuai koridor yang ada dan berlaku serta tidak menyalahi aturan normatif, maka saya mendukung,” katanya.
Posisi dan prinsip ini seringkali membuat Septian disalahpahami dan seringkali “dimusuhi” oleh serikat pekerja. “Saya pernah jadi public enemy nomor satu di serikat pekerja,” katanya, tersenyum.
Tak gampang menghadapi serikat pekerja di PT BSI. Jauh dari ring pertama kawasan industri Jawa Timur, para pekerja di perusahaan ini ternyata memiliki tingkat literasi dan pengetahuan yang bagus soal ketenagakerjaan. Bahkan mereka cukup kritis terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan, terutama di era berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja yang sering dinilai merugikan pekerja.
“Saya meyakinkan ke teman-teman bahwa saya orang yang normatif. Jika ada yang bertentangan dengan undang-undang, saya akan bersuara. Tapi sejauh ini PT BSI tidak punya dosa normatif. PT BSI taat dengan aturan-aturan pemerintah,” kata Septian.
Sebagai warga lokal, Septian memahami perasaan para pekerja di PT BSI yang didominasi warga setempat. Dia memetakan karakter setiap pengurus serikat pekerja, mulai dari gaya komunikasi hingga kesukaan.
Pendekatan tidak dilakukan secara formal belaka, namun informal dalam konteks hubungan antarmanusia. Septian selalu berusaha berinteraksi dengan pekerja, termasuk mengikuti aktivitas yang disukai mereka. “Dari situ, karena mereka sudah mulai merasa nyaman, komunikasi terbentuk, tumbuh kepercayaan, dan akhirnya bisa dikatakan harmonisasi tercipta,” katanya.
Proses ini butuh waktu tak sebentar. Septian menjalaninya dengan sabar. Dari sana timbul rasa hormat antarkedua belah pihak. Septian bisa diterima dan berbicara dengan para pekerja dalam konteks yang lebih bersahabat, tanpa ada prasangka.
Sejauh ini relatif tidak ada konflik tajam antara perusahaan dengan pekerja. Bahkan perjanjian kerja bersama yang disebut Septian sebagai konstitusi di BSI bisa ditandatangani dan dijalankan dengan kepatuhan tinggi meskipun alot dalam perundingannya. “Memanusiakan para pekerja adalah keniscayaan,” kata Septian. (*)