Banyuwangi - Menjelang datangnya musim tanam, ratusan petani
di Banyuwangi kembali menghidupkan tradisi leluhur yang sarat makna, yakni Bubak
Bumi. Ritual tahunan ini menjadi simbol rasa syukur sekaligus doa bersama agar
musim tanam mendatang berjalan lancar dan membawa hasil panen melimpah.
Salah satu pelaksanaan Bubak Bumi berlangsung di Dam K Stail,
Desa Sidorejo, Kecamatan Purwoharjo. Sejak pagi, para
petani dari berbagai wilayah tampak berkumpul dengan pakaian tradisional,
membawa hasil bumi, dan menyiapkan tumpeng untuk kenduri. Doa bersama dipimpin
oleh tokoh agama setempat, menciptakan suasana khidmat di tengah hamparan sawah
yang mulai disiapkan untuk ditanami.
Plt. Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Pengairan Banyuwangi, Riza
Al Fahrobi, mengatakan bahwa Bubak Bumi merupakan wujud kearifan lokal yang
tetap dijaga oleh para petani. “Tradisi ini bukan hanya tentang ritual, tetapi
bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas rezeki yang telah diberikan, sekaligus
harapan agar air, tanah, dan hasil pertanian tetap melimpah,” ujarnya.
Baca Juga : Dinas PU Pengairan Meluncurkan Warm System, Terobosan Digital untuk Optimalkan Irigasi Pertanian
Ritual yang diikuti sekitar 300 petani anggota Himpunan
Petani Pemakai Air (HIPPA) ini juga menjadi wadah memperkuat tali persaudaraan
antarpetani. Riza menekankan pentingnya kekompakan di tengah berbagai tantangan
pertanian modern, mulai dari perubahan iklim hingga pengelolaan sumber daya
air. “Semangat gotong royong adalah modal utama untuk menjaga ketahanan pangan
dan keberlanjutan pertanian di Banyuwangi,” tambahnya.
Sementara itu, Korsda Tegaldlimo, Hariyono Efendi,
menuturkan bahwa Dam K Stail memiliki peran penting dalam sistem irigasi
wilayah selatan Banyuwangi. “Bendungan ini dibangun sebelum tahun 1953 dan
masih berfungsi optimal mengairi sekitar 6.224 hektare sawah di Kecamatan
Purwoharjo dan Tegaldlimo,” jelasnya.
Lebih dari sekadar upacara adat, Bubak Bumi memadukan nilai spiritual,
sosial, dan ekologis dalam satu kesatuan. Melalui ritual ini, para petani tidak
hanya menanam padi, tetapi juga menanam harapan dan doa agar alam senantiasa
bersahabat. Tradisi ini menjadi bukti bahwa kearifan lokal tetap hidup
berdampingan dengan kemajuan zaman, menjaga harmoni antara manusia dan alam di
Bumi Blambangan. (*)
